Senin, 31 Desember 2012

"AKULAH SAMPAH KERING"

Dedaunan hijau berjatuhan menyentuh alas dengan bertabrakan
Hiasi tanah merah tandus amatlah kering

Angin melambaikan gugurnya dengan angkuh
Menyapaku sampah kering tanpa melirik

Akulah sampah kering
Kering belaian lembut bak kapas halus
Seperti roti panggang begitu kering
Seperti balokan air membeku terasa mengigil meremuk rusuk

Akulah sampah kering
Diam seribu bahasa tanpa bergidik
Tanpa siapapun menyapa nan melirik
Hanya angkuhnya angin menyapaku sering

Tiada uluran tangan malaikat
Tiada peluk erat hangat
Hanya sang surya memanggangku dalam kegigilan

Langit beralih hitam sulap
Bercahaya sinar dewi malam nan terang
Bersama kedip sinar gemerlap
Inilah kawan malamku benderang

Akulah sampah kering
Akulah yang kau, ia, mereka, dan kalian abaikan
Tanpa sepercik rasa belas serta iba
Hanya kucuran airmata yang meluap
Menceritakan segala siksa batin tak terungkap

Kutipan - Dwi Fatmawati

"Rasa sesak didada serasa tak terarah. Serasa menembus hingga sel terkecil. Sakit yang tiada batas. Berharap yang tak mungkin, just make broken."

"Entah kenapa suatu perbedaan terasa menyakitkan. Keadaan yang berbeda tak mengijinkan untuk bersatu."

"Sebenarnya aku telah bosan dengan ini. Hanya berharap kemudian menunggu kemudian tersakiti kemudian....entahlah terlalu banyak yang terjadi hingga aku lupa semua itu."

"Berkhayal itu indah. Apalagi mengkhayalkan sesuatu yang membuat kita melayang merasakan keindahan. Namun, jika khayalan itu pudar. Kita akan tersadar bahwa itu semua hanya khayal yang membawa kita pada rasa kesakitan."

"Entah apa, aku merasakan sesuatu sedang tertancap dihati. Sesuatu yang tak jelas. Namun membuat hati menjadi serpihan tajam yang melukai seluruh jiwa."

"Ketika seseorang mencintai yang lain. Ketika seseorang menyayangi yag lain. Ketika aku bukanlah yang terpenting. Ketika aku bagai sekarung sampah. Bagaikan guci terjatuh hingga hancur tak berbentuk. Seperti itulah hatiku."

"Kalau aku merindumu. Apakah kau juga begitu? Kurasa hanya malam yang tahu jawabnya."

"Tidakkah kau ingat dulu? Oh iya lupa. Folder diotakmu yang hanya ada aku sudah kau buang dan kau lupakan; s-e-l-a-m-a-n-y-a. Mungkin."

"Aku bagaikan pasir pantai yang kapan saja siap terhanyut oleh deburan ombakmu. Kemudian kau seret aku kedasar terdalam dan sulit bagiku untuk menemukan celah tuk keluar setelah kau siakan."

"Kamu? Meskipun aku berusaha mengikhlaskan, ketahuilah dari lubuk hati terdalam dari jauh aku memata-mataimu. Bisakah kau merasakannya? Kurasa tidak."

"Sadarlah. Sikapmu membuatku bimbang. Sikapmu terlalu semu. Bisakah kau tak mempermainkan sebuah hati? Sebuah rasa? Kau jantan! Lalu kenapa kau bersikap begitu?"

"Apa kau tahu? | Tidak. | Apa kau mengerti? | Mungkin. | Apa kau ingin tahu dan mengerti? | Terimakasih. Aku tak butuh itu. | Kenapa? | Karena aku seseorang yang berfikir dengan logika."

"Seperti yang aku alami. Pasti kau tak ingin mengalaminya. Sama denganku. Aku juga tak mau mengalami jalan takdir seperti ini."

"Menyakitkan berpura-pura. Menyakitkan mengenang masalalu. Menyakitkan terlanjur tegar. Menyakitkan membohongi perasaan. Menyakitkan. Melarakan. Menghempaskan. Hancur. Terbelah. Pecah. Berkeping-keping. Tanpa uluran tangan."

"Takkan pernah kulupa. Walau hanya sebentar. Kau lukiskan senyum kebahagiaanku."

"Aku hanya ingin kita lebih sekadar teman. Bukan juga sahabat. Entahlah kau menyebutnya apa. Aku hanya tak ingin jika kita telah berpacaran lalu setelah itu kita berpisah. Kata 'kita' berubah menjadi 'aku' dan 'kamu'."

"Tidak sepenuhnya aku berkata jujur kepadamu. Buat apa aku berkata jujur jika hanya diingat saat itu saja?Kurasa hal itu lebih menyakitkan daripada harus menunggumu selama ini."

"Memandangmu dari jauh kurasa hal yang tidak buruk. Lebih buruk lagi jika aku tak dapat melihatmu dari sisi manapun."

by: dwi fatmawati

Welcome and......Goodbye:")

Hari demi hari semua aku lewati dengan jatuh lalu bangun lalu jatuh lagi dan bangun lagi. Selalu seperti itu. Itulah hidup. Harus ada rintangan dan cobaan yang kita lalui. Sepanjang masa. Selama masa itu masih milik kita. Bersatu pada kita.

Tanpa terasa langkahku memijak pada 1 Januari 2013. Hari pertama pada tahun baru. Nafas pertamaku yang aku ucapkan pada 2013. Semua terasa begitu cepat. Cepat sekali berlalu. Berlalu silih berganti. Berganti dengan seseuatu. Sesuatu yang belum kita ketahui pastinya. Sesuatu yang otak kita hanya bisa menebak dan menerkanya. Mungkin juga mengiranya. Sesuatu yang sering disebut misteri. Misteri yang sering membuat pusing kepala kita. Puji syukur aku ucapkan ketika aku masih berhak menikmati tiap gerak jarum jam yang menembus tahun 2013 ini. Sebuah anugrah terindah yang selalu aku terima.

Kenangan demi kenangan pun tanpa terasa telah aku bentuk di 2012--tahun lalu. Kenangan yang menjadikan aku lebih mengerti akan hidup. Tepatnya peristiwa yang sudah menjelma menjadi kenangan atau masalalu. Semua rasa juga telah aku cicipi di 2012. Sedih. Gembira. Manis. Pahit. Dan sebagainya. Semua rasa itu seakan mengocok kesabaranku. Seakan kesabaranku diuji oleh setiap rasa itu. Airmata yang telah aku jatuhkan pun tak terkira. Tiap tetesnya jatuh begitu saja tanpa memperdulikan berapa waktu yang telah aku habiskan hanya untuk, Menangis. Terkadang sebuah tangisan mampu mewakili segala rasa.

2012. Entah kenapa aku merasa sangat rindu dengan empat digit itu. Mungkin terlalu banyak kejadian yang telah aku alami atau apa aku tak mengerti. Baru beberapa jam empat digit itu terlewati, sungguh aku merasakan begitu berat meninggalkan tahun ini. Aneh. Tetapi beginilah kenyataannya. Aku rindu empat digit itu. Dan mungkin aku memang rindu saat-saat tertentu. Saat dimana aku tidak bisa mengulang itu di tahun ini.

2013. Welcome your year to my life. I prayed and wished. You can gave me something special or happiness to me. And I'm can't forgotten it<3<3
2012. Goodbye your year in my life. Thank you very much for your give. I love year's. I miss you so much:"")

2013 equal MASADEPAN. 2012 equal MASALALU.

Senin, 24 Desember 2012

Detik Demi Detik.....

Rumput hijau mengalasi punggungku. Kedua tanganku merentang. Mataku terpejam cukup lama. Beberapa detik kemudian, kelopak mataku membuka. Aku mengalihkan pandangan kesekelilingku. Sepi. Sunyi. Kosong. Ku rasakan terpaan angin menyentuh bulu kudukku. Dingin Aneh, padahal sang surya masih setia untuk menyinari pagiku namun tubuhku sama sekali tak merasakan kehangatan. Aku menyikapkan tanganku di depan dada. Ada gemuruh perasaan yang menyelimuti dan aku sangat benci dengan perasaan ini. Sesak. Sakit. Kadang aku selalu bertanya pada hati kecilku sendiri. Apakah semua ini adil? Kenapa sang maha kuasa mengambil dia secepat ini? Bola mataku tak henti-hentinya berputar mengamati sekeliliing. Masih sama. Sunyi. Disini. Taman ini menyimpan ribuan kebahagiaan sepanjang hidupku. Bermain bersama dia. Tertawa. Menangis. Bahaga. Sekarang? Semua sudah absurd untuk kembali seperti sedia kala.
     "Sedang apa kau disini?" Pertanyaan itu membuyarkan putaran kebahagiaan dalam otakku terhenti dan aku sadar semua tinggal kenangan.
     "Hanya ingin bernostalgia saja. Mengingat kebahagiaan yang tertinggal disini.Canda tawa aku dan Langit." Pandanganku menatap keatas awan. Kurasa, Langit sahabatku sedang tersenyum disana.
     "Kamu masih belum bisa merelakannya pergi? Sampai kapan dek?", tanya kakakku dengan nada yang mulai frustasi.
     "Mmmm.......sampai aku bisa menemukan kebahagiaan dan kepercayaan diriku lagi."
     "Perkataanmu seperti keputusasaan saja.", jawab kakaku sambil mengacak-ngacak rambutku.
     Aku menoleh mengangkat alis tinggi. "Kakak tahu? Sejak aku kecil hingga aku sedewasa ini. Siapa yang selalu ada disampingku? Hanya Langit. Siapa sahabatku? Hanya Langit. Siapa temanku? Hanya satu dan itu Langit. Setiap hari aku selalu bersama. Aku terlalu terbiasa melewati hari dengan Langit, kak. Dia segalanya. Aku.....aku belum sanggup melewati hari tanpa senyumnya. Tanpa kejailannya. Tanpa segalanya yang berhubungan dengan dia."
     "Sedekat apapun kamu dengan Langit. Selama apapun kamu bersama dengan Langit. Tidak sepenuhnya dia akan selalu mengerti kamu. Tidak selamanya juga kamu dan dia terus bersama. Karena selamanya itu enggak ada. Karena kata selamanya akan terpisahkan oleh kegelapan yang entah kapan pasti akan menghampiri kita.", jelas kakakku yang berusaha menghiburku.
     "Sekarang aku tanya, dengan keadaaanku seperti ini. Siapa yang mau berteman dengan aku? Siapa?! Keadaanku berbeda." Suara terlalu parau untuk menjelaskan ini.
     "Pasti ada, dek. Percayalah. Kita tidak akan pernah tahu siapa, karena kita tidak pernah mencarinya. Kau mungkin tidak memiliki satu kaki. Tetapi kenapa kamu tidak berusaha menutupi kekurangan itu, dek?"
     "Aku terlalu lemah untuk menghadapi detik demi detik sendirian tanpa seseorang yang mengerti. Tanpa seseorang yang bisa menerima apadanya seperti Langit." Kantung mataku sudah tak kuasa menahan airmata yang hampir meluap.
     "Kamu masih punya masa depan, dek. Dimana adek kakak yang dulu? Bintang yang enggak seputus asa ini. Bintang yang selalu bersinar dalam keadaan apapun."
     "Aku....aku tak yakin. Keadaan telah berubah. Aku telah kehilangan kepercayaan diri. Aku telah kehilangan penyemangatku. Aku telah kehilangan semuanya.....aku...aku...rapuh untuk semua ini. Aku rindu Langit. Aku rindu cara berjalanku. Aku merindukan semua.....", jelasku dengan tangisan yang semakin menjadi-jadi.
     "Sudahlah, jangaan terlalu memikirkan ini. Kamu hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.", ucap kakakku mengecup keningku yang kemudian pergi meninggalkanku sendiri dalam pemikiran yang entahlah.

------------------------------------------------------------------------------

Hari demi hari berlalu. Jarum jam berputar semakin cepat. Detik demi detik aku lewati dengan senyum. Seakan aku baik-baik saja. Dan aku memang sudah baik-baik saja. Aku memutar kursi rodaku kearah kamar kakaku. Pintu kamarnya terbuka dan aku langsung masuk saja.
     Aku berdeham. "Sibuk?', tanyaku yang mengagetkannya.
     "Masuk aja. Kenapa?"
     "Aku udah tahu jawabannya.", jawabku dengan senyum yang menyimpan penuh makna. Penuh arti. Penuh rasa. Dan penuh perjuangan.
     "Seharusnya aku enggak bersikap kekanak-kanakkan seperti waktu itu. Pemikiranku terlalu dangkal. Aku hanya memikirkan diri sendiri. Kebahagiaanku sendiri. Kehilangan sesuatu yang kita milki dan seseorang yang kita sayangi, seharusnya membuat kita tambah kuat dan bersemangat bahwa kita bisa melanjutkan hidup tanpa dia dan be the best! Sekarang aku juga sudah sadar. Kehilangan Langit mungkin memberiku pelajaran tentang hidup. Membuatku semakin mengerti apa itu kehilangan. Membuatku belajar tentang cara merelakan dan melepaskan. Aku yakin sang maha kuasa telah menyiapkan seseorang yang lebih dari Langit. Dan aku sadar, aku masih punya keluarga yang lebih dari segalanya."
Mendengar ucapan itu, kakakku tersenyum simpul dan memelukku dengan tetesan airmata yang mulai bercucuran. Entah tangisan apa itu aku tak mengerti, yang jelas aku merasa tangisan itu adalah tangisan kebahagiaan. Hidup terus berjalan dan tak ada gunanya juga menyesali segala sesuatu dimasalalu karena waktu tak dapat diputar. Meskipun Langit hanya masalalu dalam hidupku.
Aku takkan pernah melupakannya meski keberadaan kita terpisahkan oleh kegelapan.