Senin, 24 Desember 2012

Detik Demi Detik.....

Rumput hijau mengalasi punggungku. Kedua tanganku merentang. Mataku terpejam cukup lama. Beberapa detik kemudian, kelopak mataku membuka. Aku mengalihkan pandangan kesekelilingku. Sepi. Sunyi. Kosong. Ku rasakan terpaan angin menyentuh bulu kudukku. Dingin Aneh, padahal sang surya masih setia untuk menyinari pagiku namun tubuhku sama sekali tak merasakan kehangatan. Aku menyikapkan tanganku di depan dada. Ada gemuruh perasaan yang menyelimuti dan aku sangat benci dengan perasaan ini. Sesak. Sakit. Kadang aku selalu bertanya pada hati kecilku sendiri. Apakah semua ini adil? Kenapa sang maha kuasa mengambil dia secepat ini? Bola mataku tak henti-hentinya berputar mengamati sekeliliing. Masih sama. Sunyi. Disini. Taman ini menyimpan ribuan kebahagiaan sepanjang hidupku. Bermain bersama dia. Tertawa. Menangis. Bahaga. Sekarang? Semua sudah absurd untuk kembali seperti sedia kala.
     "Sedang apa kau disini?" Pertanyaan itu membuyarkan putaran kebahagiaan dalam otakku terhenti dan aku sadar semua tinggal kenangan.
     "Hanya ingin bernostalgia saja. Mengingat kebahagiaan yang tertinggal disini.Canda tawa aku dan Langit." Pandanganku menatap keatas awan. Kurasa, Langit sahabatku sedang tersenyum disana.
     "Kamu masih belum bisa merelakannya pergi? Sampai kapan dek?", tanya kakakku dengan nada yang mulai frustasi.
     "Mmmm.......sampai aku bisa menemukan kebahagiaan dan kepercayaan diriku lagi."
     "Perkataanmu seperti keputusasaan saja.", jawab kakaku sambil mengacak-ngacak rambutku.
     Aku menoleh mengangkat alis tinggi. "Kakak tahu? Sejak aku kecil hingga aku sedewasa ini. Siapa yang selalu ada disampingku? Hanya Langit. Siapa sahabatku? Hanya Langit. Siapa temanku? Hanya satu dan itu Langit. Setiap hari aku selalu bersama. Aku terlalu terbiasa melewati hari dengan Langit, kak. Dia segalanya. Aku.....aku belum sanggup melewati hari tanpa senyumnya. Tanpa kejailannya. Tanpa segalanya yang berhubungan dengan dia."
     "Sedekat apapun kamu dengan Langit. Selama apapun kamu bersama dengan Langit. Tidak sepenuhnya dia akan selalu mengerti kamu. Tidak selamanya juga kamu dan dia terus bersama. Karena selamanya itu enggak ada. Karena kata selamanya akan terpisahkan oleh kegelapan yang entah kapan pasti akan menghampiri kita.", jelas kakakku yang berusaha menghiburku.
     "Sekarang aku tanya, dengan keadaaanku seperti ini. Siapa yang mau berteman dengan aku? Siapa?! Keadaanku berbeda." Suara terlalu parau untuk menjelaskan ini.
     "Pasti ada, dek. Percayalah. Kita tidak akan pernah tahu siapa, karena kita tidak pernah mencarinya. Kau mungkin tidak memiliki satu kaki. Tetapi kenapa kamu tidak berusaha menutupi kekurangan itu, dek?"
     "Aku terlalu lemah untuk menghadapi detik demi detik sendirian tanpa seseorang yang mengerti. Tanpa seseorang yang bisa menerima apadanya seperti Langit." Kantung mataku sudah tak kuasa menahan airmata yang hampir meluap.
     "Kamu masih punya masa depan, dek. Dimana adek kakak yang dulu? Bintang yang enggak seputus asa ini. Bintang yang selalu bersinar dalam keadaan apapun."
     "Aku....aku tak yakin. Keadaan telah berubah. Aku telah kehilangan kepercayaan diri. Aku telah kehilangan penyemangatku. Aku telah kehilangan semuanya.....aku...aku...rapuh untuk semua ini. Aku rindu Langit. Aku rindu cara berjalanku. Aku merindukan semua.....", jelasku dengan tangisan yang semakin menjadi-jadi.
     "Sudahlah, jangaan terlalu memikirkan ini. Kamu hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.", ucap kakakku mengecup keningku yang kemudian pergi meninggalkanku sendiri dalam pemikiran yang entahlah.

------------------------------------------------------------------------------

Hari demi hari berlalu. Jarum jam berputar semakin cepat. Detik demi detik aku lewati dengan senyum. Seakan aku baik-baik saja. Dan aku memang sudah baik-baik saja. Aku memutar kursi rodaku kearah kamar kakaku. Pintu kamarnya terbuka dan aku langsung masuk saja.
     Aku berdeham. "Sibuk?', tanyaku yang mengagetkannya.
     "Masuk aja. Kenapa?"
     "Aku udah tahu jawabannya.", jawabku dengan senyum yang menyimpan penuh makna. Penuh arti. Penuh rasa. Dan penuh perjuangan.
     "Seharusnya aku enggak bersikap kekanak-kanakkan seperti waktu itu. Pemikiranku terlalu dangkal. Aku hanya memikirkan diri sendiri. Kebahagiaanku sendiri. Kehilangan sesuatu yang kita milki dan seseorang yang kita sayangi, seharusnya membuat kita tambah kuat dan bersemangat bahwa kita bisa melanjutkan hidup tanpa dia dan be the best! Sekarang aku juga sudah sadar. Kehilangan Langit mungkin memberiku pelajaran tentang hidup. Membuatku semakin mengerti apa itu kehilangan. Membuatku belajar tentang cara merelakan dan melepaskan. Aku yakin sang maha kuasa telah menyiapkan seseorang yang lebih dari Langit. Dan aku sadar, aku masih punya keluarga yang lebih dari segalanya."
Mendengar ucapan itu, kakakku tersenyum simpul dan memelukku dengan tetesan airmata yang mulai bercucuran. Entah tangisan apa itu aku tak mengerti, yang jelas aku merasa tangisan itu adalah tangisan kebahagiaan. Hidup terus berjalan dan tak ada gunanya juga menyesali segala sesuatu dimasalalu karena waktu tak dapat diputar. Meskipun Langit hanya masalalu dalam hidupku.
Aku takkan pernah melupakannya meski keberadaan kita terpisahkan oleh kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar