Beberapa hari setelah
kejadian itu, aku mengurung diri dikamar. Aku menangis dari pagi hingga pagi. Mengulang
kronologi demi kronologi. Inikah takdir cintaku? Haruskah sesakit ini? Haruskah
seperih ini? Haruskah berakhir dengan airmata bahkan cacian maki? Apakah Rizky
telah melupakan kenangan dulu? Secepat itukah?
Masih teringat jelas
pertemuan terakhirku dengan Rizky, begitu menyakitkan. Kenapa hal ini harus
terjadi kepadaku? Apa salahku?
Tuhan… jika memang Rizky
lebih bahagia dengan gadis itu, aku rela. Namun, apakah ini balasan dari
kerelaanku?
Tiga hari lagi pertunangan
Rizky. Sanggupkah aku menghadirinya?
Aku menatap sebuah album
foto dilaci dan aku membukanya. Linangan airmatapun bahasi seluruh pipiku. Foto
ini menambah sayatan luka dihatiku. Aku melempar album foto keluar jendela. Setelah
tangisku sedikit mereda, aku mengambil kunci mobil dan pergi kesebuah desa yang
banyak sawahnya.
Jendela mobilku aku buka agar
bisa melihat sawah yang hijau dan mungkin bisa mengurangi penatku. Kakiku mengegas
pol. Serasa angin dari luar dapat masuk melalui celah jendela mobil. Aku berteriak
sangat kencang dan menangis sejadi-jadinya. Tanganku mengambil handphone yang
ada disampingku.
“Halo.”, jawab Rizky disana.
“Maaf jika dulu aku tak
bisa membuatmu bahagia.”, ucapku dengan tangis.
“Kamu kenapa Rena? Kenapa kamu
menangis?”, tanya Rizky dengan nada yang sangat khawatir.
“Aku baik-baik saja.”,
jawabku berusaha tegar, namun airmataku malah menjadi-jadi.
“Rena,tolong temui aku sekarang
dicafetaria seperti kemarin. Ada….
Belum sempat aku mendengar
hingga selesai. Suara klakson dari depan membuatku oleng dan semuanya gelap.
--------------------------------------------------------------------
Aku membuka mata perlahan. Kepalaku
terasa pusing sekali. Terdengar suara mesin berbunyi. Kenapa disini putih? Dimana
aku?
“Sayang, kamu udah siuman.”,
suara itu membukakan mataku.
“Mamah, dimana aku?”,
tanyaku dengan suara begitu parau.
“Dirumah sakit, sayang. Tadi
kamu kecelakaan.”
Mendengar kata kecelakaan,
kepalaku semakin pusing.
“Kamu koma hampir satu
hari, sayang.”. ucap mamahku lembut.
Sungguh, kepalaku pusing
sekali. Berat sekali. Nafasku terasa berat.
“Sayang, ada yang ingin
bertemu dengan kamu. Mamah keluar dulu.”
Aku menatap punggung
mamahku yang semakin hilang ditelan tembok.
“Rena…”, panggil seseorang
lembut. “Maafkan aku.”
Aku menoleh. “Rizky?”
“Aku salah. Aku bodoh. Aku kejam.
Aku… aku… aku menyesal. Maafkan aku Ren, seharusnya aku enggak memperlakukanmu
seperti itu waktu dicafetaria. Aku dibutakan seorang gadis yang pintar berkamuflase.
Aku…aku sadar, cuma kamu yang cinta dan sayang aku begitu tulus. Tanpa melihat
ketampanan dan kekayaanku. Aku.. aku menyesal pernah melukaimu. Maafkan aku.”,
jelasnya dengan menggenggam tanganku erat.
Tuhan… kenapa kepalaku
terasa berat dan pusing sekali? Bahkan nafasku….
“Pertunangan kami batal
Ren. Aku sangar berharap kamu mau kembali bersamaku. Aku janji aku tak akan
menyakitimu setitikpun. Aku akan membahagiakanmu lebih dari yang kamu harapkan.
Aku mencintaimu, Rena.. tulus.”, tambahnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku mengambil nafas dengan berat
dan susah, berharap ini bukan nafas terakhirku. Tapi, aku salah. Disaat kebahagiaan datang, disitulah nafasku berakhir.
“Aku su…dah me..maafkanmu.
Dan aku ju..ga men…cin…taimu tu..lus…”